Pulau Enggano adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di samudra Hindia. Pulau Enggano ini merupakan bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu.
Dan Enggano merupakan sebuah kecamatan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkulu Utara dengan pusat pemerintahan berada di Desa Apoho. Luas wilayah Pulau Enggano 400,6 km², terdiri dari enam desa yaitu Desa Kahyapu, Ka’ana, Apoho, Malakoni, Meok dan Banjarsari.
Pulau ini berada di sebelah barat daya dari kota Bengkulu dengan koordinat 05° 23′ 21″ LS, 102° 24′ 40″ BT.
Secara geografis, Pulau Enggano berada di wilayah Samudera Indonesia yang posisiastronomisnya terletak pada 05°31’13 LS dan 102°16’00 BT.
Pulau ini memiliki banyak keunikan, baik itu suku, budaya, adat-istiadat, serta potensi wisata Sumber Daya Alam. Tidak hanya itu, disekitar pulau Enggano juga terdapat banyak pulau pulau kecil. Seperti pulau Mega atau sering disebut Pulau Dua.
Kemudian Pulau Gua Batu Berlubang, dimana menurut warga setempat memiliki mitos romantis. jika seorang pengunjung membawa pacarnya ke pulau tersebut maka dipercaya akan segera menikah dan setia seumur hidup.
Masyarakat Pulau Enggano juga dikenal ramah dan masih memegang erat budaya kearifan lokal. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri wisatawan dan potensi investasi yang aman kedepan.
Selain terumbu karang yang masih lestari, Pulau Enggano juga di temukan flora dan fauna yang tidak di temukan di tempat lain, seperti ikan Tuna Sirip Biru, Penyu Hijau, Penyu Sisik, burung endemik seperti Burung Betet Ekor Panjang, Burung Kacamata, Celepuk Enggano, Burung Tiung atau Beo Enggano dan masih banyak yang lainnya.
Pulau Enggano di huni ada 5 suku asli yaitu, suku Kahaoa, suku Kaitora,suku Kauno, suku Kaarubi, Kaharuba dan di tambah 1 suku pendatang yang disebut dengan nama suku Kamay.
Setiap suku akan di pimpin salah seorang kepala suku. Setiap satu orang kepala suku akan di jaga dua orang penjaga pintu kepala suku. Setiap suku mempunyai satu buah rumah adat. Setiap ingin mengadakan upacara adat atau upacara hari-hari besar, warga Enggano di panggil oleh kepala suku untuk berkumpul di rumah adat dengan cara meniup Kamiyu. Yakni, sejenis terompet yang berasal dari keong laut seperti umang-umang.
Sebagian besar suku di Pulau Enggano masih menggunakan bahasa asli Enggano dan untuk bahasa pergaulannya, mereka menggunakan bahasa indonesia.
Sebagai pulau karang timbul (Raised Coral Island), Enggano memang menakjubkan. Dengan luasan pulau yang mencapai lebih dari 39 ribu hektare, ia menjadi tempat hidup lebih dari 868 kepala keluarga atau sekitar 3.000 jiwa.
Pesona gugusan pantai di pulau ini memang patut diacungi jempol. Selain terbilang alami dan bersih, ia menyimpan ribuan jenis ikan karang yang bisa dilihat langsung dengan mata telanjang. Oleh karena itu, tidak sedikit wisatawan yang datang menjadikan pulau ini sebagai spot memancing, baik itu dengan berkeliling perahu atau sekadar duduk di tepi pantainya.
Jadi jangan heran, bila di pulau ini, kita akan berjumpa dengan nelayan yang sudah terbiasa menangkap tangan udang karang atau lobster di sekitar pulau. Termasuk diantaranya adalah bertemu penduduk yang berburu ikan dengan alat tembak tradisional.
Jika seandainya mendapat sedikit sentuhan promosi dan perbaikan infrastruktur, pulau Enggano bahkan dapat disejajarkan dengan pesona wisata yang dimiliki Raja Ampat, Papua.
Surganya penjelajah
Menikmati Enggano, memang tak cukup jika hanya sehari. Sebab, pulau yang dikelilingi pulau-pulau kecil, seperti Pulau Dua (38,90 hektare), Pulau Merbau (6,8 hektare) dan Pulau Bangkai (0,26 hektare) ini, membuat kita seolah tak pernah cukup waktu menjelajahnya.
Sekalipun akses kendaraan roda empat memang sudah bisa dilintasi, meski dalam kondisi rusak. Namun, untuk lebih merasakan sensasi berpetualang, memang disarankan lebih baik menggunakan sepeda motor.
“Mobil memang sudah bisa melintas. Tapi tidak bisa menjangkau sejumlah sudut pulau. Kalau memang ingin menjelajah, gunakan sepeda motor atau berjalan kaki. Banyak tempat menarik yang bisa dikunjungi,” ucap masyarakat setempat.
Harus diakui, potensi wisata pulau Enggano, memang betul-betul mengagumkan. Bagaimana tidak, pulau yang telah dinobatkan sebagai Daerah Burung Endemik (Endemic Bird Area) ini, menyajikan beragam hal eksentrik untuk dinikmati. Salah satunya adalah, wisata pengamatan buaya sungai di sejumlah sungai atau muara yang ada di pulau ini.
“Ada juga yang unik di dalam hutan, disana ada namanya Jalan Jepang, sisa peninggalan penjajah pada zaman dahulu. Cuma penduduk jarang kesini, tapi kalau diminta bisa untuk ditemani,” kata salah seorang penduduk setempat.
Enggano memang konon ceritanya sempat disinggahi Jepang. Terbukti selain ada jalan lama di dalam hutan, di beberapa bibir pantai pulau ini banyak ditemukan bungker dan makam bertuliskan huruf Jepang. Dan harap maklum, bagi sebagian penduduk karena beranggapan peninggalan tersebut angker, jadi tak banyak cerita yang bisa digali dari sejumlah peninggalan sejarah tersebut.
Terisolir dan memprihatinkan
Meski demikian, di balik segala pesonanya tersebut. Pulau terluar Indonesia tersebut, nyaris dalam kondisi memprihatinkan. Arus lalu lintas yang terbatas dan ketersediaan jaringan listrik masik belum maksimal di Enggano. Membuat pulau ini menjadi terisolir.
Karena itu, jangan heran bila perangkat telekomunikasi sekeren apapun tak berjalan dengan baik di sini. Sebab sinyal hanya ada di titik-titik tertentu.
“Sudah puluhan tahun kami seperti ini. Harga bahan pokok mahal di sini, jadi kami harus berhemat sebaik mungkin,” ujar penduduk setempat.
Secara keseluruhan, mayoritas penduduk di Enggano adalah petani dan nelayan. Mereka menggantungkan hidupnya dari bercocok tanam di lahan sawah atau perkebunan seperti pisang, melinjo, cengkeh atau kakao.
Namun sayang, akibat minimnya infratruktur dan akses transportasi yang berujung pada mahalnya kebutuhan pokok di wilayah ini, membuat masyarakat hanya mampu memproduksi hasil pertanian mentah. Jadi, ketika kapal masuk, umumnya masyarakat segera menjual hasil pertanian mereka hingga berton-ton lewat kapal.
Melimpahnya potensi pertanian tersebut, memang berbanding terbalik dengan saluran distribusi ekonomi di pulau ini. Sebab, transaksi hasil pertanian sangat bergantung dengan cuaca. Sekali saja, kapal telat atau tak sampai ke pulau, bisa dipastikan sejumlah hasil pertanian penduduk khususnya pisang, terpaksa gagal dijual.
Selengkapnya lihat di https://www.garudacitizen.com/sekilas-tentang-pulau-enggano/
Selengkapnya lihat di https://www.garudacitizen.com/sekilas-tentang-pulau-enggano/
Bagus
BalasHapus